Sabtu, 23 Maret 2013

STRATEGI KULTURAL MENUMBUHKAN BUDAYA BACA





(Perspektif Sosiologis)

Dr. Al-Zastrouw Ng.**)
Data-data survey menunjukkan, masyarakat Indonesia menempati posisi terendah di Asia dalam budaya memebaca. Rendahnya budaya baca ini tidak hanya terjadi di kalalangan masyarakat, tetapi juga di kalangan pelajar, mahasiswa, guru, bahkan dosen dan akademisi yang mestinya dekat dengan aktivitas membaca. Kebiasaan membaca mereka rata-rata kurang dari satu jam perhari. Kalau komunitas akademik hanya memiliki kebiasaan membaca kurang dari satu jam per hari, maka berapa menit  masyarakat umum memiliki kebiasaan waktu membaca (Baidhowi; 2010).

Data ini perkuat oleh laporan Bank Dunia Nomor 16369-IND, dan studi IEA (International Association for the Evaluation of Education Achicievement) di Asia Timur, tingkat terendah membaca dipegang oleh negara Indonesia dengan skor 51,7, di bawah Filipina (skor 52,6), Thailand ( skor 65,1), Singapura (skor 74,0), dan Hongkong  (skor 75,5). Bukan itu saja, kemampuan orang Indonesia dalam menguasai bahan bacaan juga rendah, hanya 30 persen. Data lain juga menyebutkan (UNDP) dalam Human Report 2000, bahwa angka melek huruf orang dewasa Indonesia hanya 65,5 persen. Sedangkan Malaysia sudah mencapai 86,4 persen, dan negara-negara maju seperti Jepang, Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat umunya sudah mencapai 99,0 persen (Ben S. Galus; 2011).
Rendahnya budaya baca masyarakat Indonesia ini bisa dilihat dari jumlah buku baru yang terbit di negeri ini, yaitu hanya sekitar 8.000 judul/tahun. Bandingkan dengan Malaysia yang menerbitkan 15.000 judul/tahun, Vietnam 45.000 judul/tahun, sedangkan Inggris menerbitkan 100.000 judul/tahun. Kesenjangan budaya baca ini akan semikin terlihat kalau dibandingkan dengan Jepang. Menurut kalangan pers Jepang, tiras koran yang beredar setiap hari mencapai 60 juta. Padahal penduduk Jepang hanya 125,6 juta. Di Jepang rata-rata pembaca koran 1:2 sampai 1:3. Artinya, tiap dua atau tiga penduduk, satu diantaranya baca koran. Mungkin tiap rumah di Jepang berlangganan satau sampai dua Koran, sehingga tidak heran banyak mempengaruhi hidup mereka dalam banyak aspek, seperti cultural, ilmiah, sosial, ekonomis, demokratis, dan kreativitas individu.
Selain dari jumlah penerbitan buku, rendahnya minat baca masyarakat Indonesia juga terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Di setiap tempat, mulai cafĂ©, halte bus, stasiun kereta, bandara, taman dan area bublik lainnya kita jarang sekali melihat ada orang yang membaca, mereka lebih banyak ngobrol, main HP atau bengong sambil melamun. Kondisi ini sangat berbeda dengan masyarakat Jepang, yang budaya membacanya sudah tinggi. Di  Jepang kita akan mudah melihat dan menemukan orang membaca di Stasion Kreta Api, terminal bus atau antrean calon penumpang taksi. Bahkan tidak sedikit yang tetap membaca sambil berjalan dengan langkah-langkah cepat.
Paparan di atas menunjukkan bahwa masyarakat kita lebih dekat dengan  budaya tutur (oral tradition) daripada budaya baca. Di tengah kuatnya tarikan budaya tutur, tiba-tiba datang tehnologi audio visual yang menyajikan berbagai macam hiburan yang tidak saja dapat didengar tetapi juga dapat dilihat. Kondisi ini makin menjauhkan masyarakat terhadap budaya baca, karena budaya menonton dan mendengar jauh lebih mudah dan lebih menyenangkan dari pada
budya baca, Terjadinya lompatan budaya menonton dari budaya tutur tidak saja bisa melemahkan budaya baca tetapi juga menghilangkan sensitifitas masyarakat terhadap bacaan dan ini sama artinya dengan terjadinya stagnasi budaya yang menjebak masayrakat Indonesia dalam budaya tutur. 
Dalam perspektif sosiologis, budaya oral menunjukkan posisi awal (rendah) dalam perkembangan perdaban manusia. Sebagaimana dijelaskan Auguste Comte bahwa  masyarakat berkembang melalui tiga tahap utama, yang masing-masing tahap ditentukan menurut cara berpikir dominan; teologis, metafisik dan positif .[1] Fase teologis yang terbagi dalam tiga fase; fetisisme, politeisme dan moniteisme, kebudayaan didominasi oleh bentuk pikiran thayyul dan mitos sebagaimana tercermin dalam masyarakat primitive. Pada fase metafisik ditandai dengan kepercayaan akan hukum-hukum alam yang asasi yang dapat diterima akal budi. Fase Positif ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan (Doyle Paul Johnson; 86). Dalam tiga fase ini ini, budaya lisan berada pada fase pertama dan permulaana fase kedua. Ini artinya budaya membaca suatu masayarakat menjadi ukuran kemajauan peradaban. Dengan kata lain semakin tinggi budaya membaca maka semakin tinggi taraf peradaban masyarakat tersebut, demikian sebaliknya. Jika perspektif Comte ini kita gunakan untuk melihat masyarakat Indonesia saat ini, maka jelas terlihat bahwa sebenarnya masyarakat Indodnesia masih berada dalam fase teologis dan metafisik sekalipun hidup dalam perdaban modern, dibuktikan dengan rendahnya budaya baca dan tingginya budaya tutur.
Melihat kenyataan yang ada, maka pertanyaan yang muncul adalah bagaimana mentransformasikan budaya tutur yang metafisis menjadi budaya baca yang positifistik. Dengan kata lain bagaimana memodernisasikan masyarakat Indonesia melalui pengingkatan budaya?

 Kebudayaan dan Habitus Masyarakat Indonesia
Sebelum mebahas upaya meningkatkan budaya baca di kalangan masyarakat, ada baiknya kami memaparkan soal kebudayaan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang lebih spesifik mengenai kebudayaan yang terkait dengan upaya penumbuhan minat baca di kalangan masyarakat, menginat begitu luasnya definisi mengenai kebudayaan.
Krober dan Kluckhon sebagaimana dikutip Sutrisno dan Putranto (2009;5) merumuskan kebudayaan dalam enam pengertian: Pertama, kebudayaan sebagai hasil yang total dan komprehensif dimana kehidupan sosial masyarakat terstruktur secara simetris dan diametral. Dalam hal ini budaya hendak ditempatkan sebagai pedoman dalam kehidupan masyarakat. Dengan kata lain budaya adalah system dalam masyarakat; kedua, budaya sebagai warisan leluhur yang berisi kaidah-kaidah/norma-norma kehidupan dimana generasi selanjutnya wajib menerima dan menjaga untuk diteruskan pada generasi berikutnya; ketiga, budaya adalah setumpuk aturan yang membentuk pola perilaku seseorang ataupun masyarakat; keempat, budaya adalah piranti atau perangkat lunak yang memiliki kemampuan memecahkan masalah; kelima, budaya adalah bagian organis dari seluruh kehidupan masyarakat  yang mengkatagorikan dan mengabstraksikan segala bentuk perilaku kongkrit manusia yang berbeda satu sama lain;
keenam, budaya dapat dilihat suatu nilai yang keberadaanya tetap selama manusia itu ada di atas bumi.
Menurut Koentjaraningrat (1974;80) kebudayaan dengan kata dasar budaya berasal dari bahasa sangsakerta ”buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”.  Dari sini Koentjaraningrat melihat budaya sebagai “daya budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah “keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.”
Dari difinisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah segala hasil cipta karsa manusia baik yang berbentuk materi maupun non materi sebagai sarana mengaktuali-sasikan diri sebagai manusia dan sebagai sarana perekat social baik dengan sesama manusia maupun dengan alam.
Ada tiga hal yang terkait dengan kebudayaan; pertama adalah manusia. Kebudayaan adalah produk manusia  yang membedakan manusia dengan mahluk lainnya. Kedua, kebudayaan bukan sesuatu yang berada di ruang hampa atau ada secara spontan, tetapi kebudayaan ada dan terbentuk melalui proses yang lama, ketiga hubungan antara manusia dan kebudayaan adalah timbale balik (reversible). Pada kondisi dan titik tertentu manusia dibentuk oleh kebudayaan yang melingkupinya, namun pada kondisi dan titik tertentu manusia bisa menjadi agen yang merubah budaya yang ada dalam suatu masyarakat[1].
Secara historis, kita bisa melihat, konstruksi sosial masyarakat Indonesia bukanlah masyarakat yang memiliki budaya baca. Transfer nilai dan kebudayaan dilakukan melalui budaya lisan (tutur); tembang, dongeng dan kidung dan sejenisnya. Memang banyak prasasti dan kitab yang ditulis oleh para Empu, seperti kitab Pararaton, Serat Centhini, Serat Kalatidha, Negarakertagama dan sebagainya (Agus Sunyoto; 2012). Namun kitab-kitab tersebut secara praktis tidak untuk dibaca, tetapi disampaikan melalui tembang, terbukti dengan susunan bahasa dan kalimatnya yang harus sesuai dengan ritme tembang-tembang jawa (guru lagu dan guru wilangan). Selain itu ajaran etik dan moral lebih banyak disampaikan melalui dongeng, ceritera tutur dan nasehat-nasehat langsung dari para sesepuh, bukan dalam bentuk kodivikasi etik yang tertulis. Semua ini menunjukkan bahwa transfer kebudayaan masyarakat Indonesia lebih banyak dilakukan melalui budaya lisan. Inilah yang menyebabkan masyarakat Indonesia tidak memiliki habitus membaca.
Melihat konstruksi sosiologis dan akar cultural masyarakat Indonesia, perlu ada strategi kultural yang efektif untuk melakukan transformasi dari budaya lisan/tutur ke dalam budaya baca. Agar proses transformasi ini bisa berjalan dengan baik dan cepat, maka kita perlu mencermati hal-hal yang bisa mendorong terjadinya transformasi tersebut. Artinya upaya meningkatkan budaya baca merupakan bagian dari proses transformasi kebudayaan masyarakat Indonesia, oleh karenanya dia menjadi sesuatu yang vital dan penting yang harus dilakaukan

secara serius dan sunggung-sung karena terkait dengan masa depan dan eksistensi peradaban bangsa Indonesia.

Transformasi Menuju Budaya Baca
Koentjoroningrat membedakan 7 (tujuh) unsur kebudayaan, atau yang disebut sebagai faset-faset kebudayaan atau “mata bajak” kebudayaan, yakni: (1) sistem kepercayaan; (2) sistem kekerabatan dan organisasi sosial; (3) sistem mata pencarian hidup atau ekonomi; (4) bahasa; (5) sistem ilmu pengetahuan; (6) kesenian, dan (7) peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi) (Koentjaraningrat, 1974).
Selanjutnya Koentjoroningkat menjelaskan bahwa urutan unsur budaya tersebut juga menunjukkan urutan kesulitan dalam perubahan budaya. Unsur budaya yang pertama, yakni ’sistem kepercayaan’, adalah yang paling sulit berubah, sedang unsur yang ketujuh, yakni ’peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi)’ adalah yang paling mudah. Terkait dengan ketujuh unsur atau faset kebudayaan tersebut, budaya baca lebih dekat dengan unsur ’bahasa’ atau ’sistem ilmu pengetahuan’, karena membaca merupakan prasyarat penting yang diperlukan dalam sistem ilmu pengetahuan (Suparlan;2009).
Dengan merujuk pada ketujuh faset kebudayaan Koentjoroningkat kita bisa membangun strategi kebudayaan untuk menumbuhkan budaya baca di kalangan masyarakat. Dari ketujuh faset kebudayaan Koentjoroningrat,   dapat dibagi ke dalam dua lapis kebudayaan; pertama kebudayaan halus dalam hal ini kami menyebut dengan soft cultur (budaya lembut) yaitu kebudayaan tak berbentuk yang terkait dengan pemikiran, norma, nilai, ajaran, sistem keyakinan dan sebagainya yang dapat mempengaruhi perilaku dan cara hidup manusia. Kedua kebudayaan material, berbentuk dan dapat dilihat yang kami sebut dengan hard cultur, seperti produk tehnologi, benda-benda seni atau peralatan yang menjadi penopang kehidupan.
Berpijak dari dua model kebudayaan ini, bisa dibuat suatu strategi budaya menumbuhkan budaya membaca di kalangan masyarakat. Pada sisi soft cultur penumbuhan budaya baca bisa dilakukan dengan cara merubah habitus masyarakat melalui transformasi kesadaran. Hal ini bisa dilakukan dengan cara mengembangkan dan mengeksplorasi berbagai ajaran dan nilai-nilai agama, adat, petuah dan tradisi yang bisa mendorong tumbuhnya budaya baca. Hal ini penting dilakukan, karena secara sosiologis masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang religious, tetapi regiusitas masyarakat ini sifatnya masih simbolik formal sehingga belum bisa menyerap dan mengamalkan ajaran-ajaran yang sifatnya substansial secara maksimal.
Salah satu contoh yang bisa diambil di sini adalah ajaran Islam soal membaca. Jelas ditegaskan dalam Islam bahwa wahyu yang pertama kali turun adalah perintah untuk membaca. Artinya Islam sangat concern dalam membangun budaya baca. Agar ajaran Islam mengenai pentingnya budaya membaca ini bisa menjadi kesadaran kolektif masyarakat, maka perlu ada pemahaman yang bisa mempengaruhi kesadaran masyarakat bahwa membaca adalah bagian dari tugas ummat beragama, membaca adalah ibadah yang wajib dilakukan oleh ummat beragama, selain kewajiban formal (mahdlah) yang telah ditentukan oleh agama. Pendeknya, pada taraf ini perlu dieksplorasi secara mendalam berbagai nilai, norma, ajaran dan pemikiran yang bisa mendorong tumbuhnya budaya baca untuk dijadikana sebagai capital social dan capital cultural dalam membanagun strategi kebudayaan menumbuhkan budaya baca.
Agar proses transformasi habitus melalui penyebaran kesadaran bisa berjalan maka perlu disediakan ranah tempat pertarungan untuk membentuk produksi cultural. Sebagaimana dijelaskan Bourdieu di dalam ranah inilah agen-agen akan menempati berbagai posisi yang ada dan mereka akan terlibat dalam berbagai kompetisi untuk memperebutkan kepentingan dalam ranah tersebut. Pendeknya, perlu menjadikan ranah politik, ranah ekonomi, ranah pendidikan, ranah cultural dan ranah agama  sebagai sarana para agen melakukan pertarungan untuk mentransfornasikan habitus membentuk produksi cultural budaya baca.
Secara tehnis, untuk menciptakan pertarungan antar agen, perlu dilakukan berbagai kompetisi dalam setiap ranah yang bisa mendorong setiap agen memanfaatkan berbagai capital yang mereka miliki; capital social, cultural dan simbolik. Dengan cara ini upaya mebangun kesadaran membaca yang bisa menumbuhkan budaya baca akan terwujud, karena membaca akan menjadi kebutuhan bagi setiap agen yang sedang melakukan pertarungan dalam berbagai ranah yang ada.
Selain pada tataran soft cultur, perlu juga dilakukan penanganan pada tataran hard cultur. Pada tataran ini srtategi cultural menumbuhkan budaya baca bisa dilakaukan dengan penyediaan berbagai fasilitas yang bisa mendorong tumbuhnya minat baca di kalangan masyarakat. Misalnya penyediaan buku-buku bacaan yang mudah diakses oleh masyrakat, perpustakaan yang nyaman dan menarik dengan pelayanan yang mudah dan menyenangkan sehingga orang merasa nyaman berada diperpustakaan.
Hal lain yang perlu dilakukan adalah menciptakan berbagai event yang memiliki keterkaitan dengan membaca, misalnya lomba resensi buku, lomba menulis, kompetisi penelitian, forum debat dan diskusi dan sejenisnya. Semua event ini akan mendorong masyarakat untuk membaca. Jika hal ini dilakukan secara terus menerus, maka akan tumbuh perasaan gemar membaca. Jika perasaan ini dipelihara akan muncul kebiasaan membaca yang bisa melahirkan tradisi membaca di kalangan masyarakat. Dari tradisi membaca inilah akan lahir budaya membaca.
Selain sarana dan prasarana yang sifatnya material, instirusi social juga menjadi sesuatu yang penting diperhatikan untuk mempercepat tumbuhnya budaya baca. Institusi social terpenting dan srategis adalah keluarga, karena bagaimanapun keluarga adalah lingkungan paling dekat dengan kehidupan seseorang. Selain itu keluarga adalah lingkungan pertama tempat terbentuknya habitus seseorang. Setelah itu adalah lingkungan pendidikan formal; sekolah, universitas, pesantren dan sejenisnya. Jika lingkungan seperti ini bisa menyediakan berbagai perangkat yang bisa merangsang tumbuhnya minat baca, maka upaya menciptakan budaya baca di kalanagan masyarakat akan lebih cepat terwujud.
Harus diakui tidak mudah membangun budaya baca di kalangan masyarakat, karena hal ini berkaitan dengan habitus masyarakat. Perubahan budaya lisan menjadi budaya baca memang akan lebih sulit dibandingkan dengan perubahan yang terjadi pada unsur ’peralatan dan peralatan hidup (teknologi). Dalam kehidupan sehari-hari kita melihat bahwa mengubah cara menulis menggunakan pensil menjadi laptop atau komputer lebih mudah dibandingkan dengan mengubah budaya ’ngrumpi’ menjadi budaya baca. Perlu kesabaran, keuletan, ketekunan, komitmen dan konsistensi tinggi untuk melakukan perubahan budaya. Tetapi saya yakin, dengan strategi yang benar, cara yang efektif dan dibantu oleh kecanggihan tehnologi sebagai sarana dan prasarana transformasi budaya untuk membangun budaya membaca di kalangan masyarakat akan bisa berjalan lebih cepat.


[1] Mengenai dialektika antara agen dan struktur dalam kebudayaan, lihat Bourdieu. Melalui konsep “habitus” dan “ranah”, Bourdieu menjembati dialektika agen dan struktur. Menurut Bourdieu, habitus merupakan hasil dari proses panjang pencekokan individu, dimulai sejak masa kanak-kanan yang kemudian menjadi semcam penginderaan kedua atau hakekat alamiah kedua. Habitus merepresentasikan disposisi-disposisi sebagai berikut; ‘tahan lama’ dalam artian bertahan disepanjang rentang waktu tertentu dalam kehidupan seorang agen; ‘bisa dipindahkan’ dalam arti sanggup melahirkan praktik-praktik di berbagai ranah aktivitas yang beragam; ketiga merupakan ‘struktur yang distrukturkan’ dalam arti mengikut sertakan kondisi-kondisi social obyektif pembentukannya; keempat, merupakan ‘struktur-struktur yang menstrukturkan’ artinya mampu melahirkan praktik-praktik yang sesuai dengan situasi-situasi khusus dan terentu. Ranah adalah ruang terstruktur dengan kaidah-kaidah keberfungsiannya sendiri, dengan relasi-relasi kuasanya sendiri. Ranah merupakan konsep yanag dinamis yang strukturnya mengalami perubahan karena adanya perubahan posisi agen dalam suatu ranah (Pierre Bourdieu, 2010; xv dan xvii).



[1] Dalam fase teologis, akal budi manusia, yang mencari kodrat dasar manusia, yakni sebab pertama dan sebab terakhir (asal dan tujuan) dari segala akibat –singkatnya pengetahuan absolute- mengandaikan bahwa semua gejala dihasilkan oleh tindakan langsung dari hal-hal supranatural. Dalam fase metafisik, yang sebenarnya merupakan bentuk lain dari yang pertama, akal budi tidak lagi mengandalikan hal yang supernatural, melainkan kekuatan-kekuatan abstrak, hal-hal yang benar-benar nyata melekat pada semua benda (abstraksi-abstraksi yang dipersonifikasi) dan yang mampu menghasilkan semua gejala. Dalam fase positif akal budi sudah meninggalkan pencarian yang sia-sia terhadap pengertian-pengertian absolut, asal dan tujuan alam semesta, serta sebab-sebab gejala dan memuaskan perhatiannya pada studi tentang hukum-hukumnya –yakni hubungan-hubungan urutan dan persamaannya yang tidak berubah. Penalaran dan pengamatan digabungkan secara tepat sehingga menjadi sarana pengetahuan. (Comte dalam Doyle Paul Johnson; 1986, 85)


**) Penulis adalah penggiat kebudayaan dan seni Tradisi Nusantara, Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (LESBUMI) PBNU.

sumber : http://gpmb.pnri.go.id/index.php?module=artikel&id=39

Tidak ada komentar:

Posting Komentar